Ternyata Serindu Ini
Barangkali kau ingin tahu mama, seperti apa hidup
sepeninggalmu, seperti biasa kau bertanya padaku "kayapa habar di sana, nak?" di ujung telepon.
Baiklah, maka akan kuceritakan tentang ramadhan paling sunyi
sepanjang 32 tahun terakhir, ma, tanpa bingka besumap dan bingka barandam. Lalu
akan kuceritakan tentang malam takbiran yang ingin cepat kulewatkan dengan
menutup kedua telinga dan bersembunyi di pojok kamar dari riuh rendahnya suara
takbir.
Kemudian akan kuceritakan tentang lebaran yang ingin segera
kulupakan semringahnya orang2 yang kutemui dan menghindari tatap ingin tahu dan
iba mereka kepadaku, ma, dan bertanya "Siapa
nang mengguringi rumah mama? Jangan dibiarkan kosong lah rumah mama..."
Padahal aku sendiri tidak tahu cara 'mengisi' rumahmu yang mendadak suram sepi
ini.
Dan bagaimana bisa aku dengan kepala penuh labirin kenangan
yang tetiba terurai masai tentangmu dan tentang kita ; duduk di sofa ruang tamu
milikmu memandangi deretan foto senyummu dan sederet keramik kecil koleksimu?
Setelah itu akan kuceritakan perihal debu yang mulai
menutupi wajah-wajah tersenyum di dalam bingkai kayu, ma. Perihal dentang jam
dinding kayu yang sudah kau miliki semenjak cinta mekar di samping abah.
Perihal seribu kisah yang tersimpan di dalam setiap guci keramik di dalam bufet-bufet. Perihal baju-bajumu yang tersusun rapi di dalam lemari yang aku sendiri tak berdaya menyentuhnya untuk membayangkan kau sedang mengenakan setiap baju-baju cantik itu seperti biasanya, berdiri di depan cermin setinggi badan dan menyisir rambut dan memoleskan bedak tipis, lalu merasakan gelombang dahsyat rindu padamu tak bertepi.
Perihal tongkatmu yang bersandar di samping tempat tidur yang menanti gapaian tanganmu seperti biasa menopang berat tubuhmu menemani tatih langkahmu.
Barangkali kau ingin tahu, ma, maka aku akan bercerita. Bercerita
padamu, sesuatu yang bahkan ketika kau nyata ada dan minta aku melakukannya,
aku bisa dengan luar biasa pongahnya menolak dengan sejuta alasan tak penting. Aku
yang dengan sombongnya menganggap kau akan selalu ada di sana sepanjang hayatku
untuk menyaksikan aku bertumbuh bersama suami dan anak-anakku, menyaksikan Reza
menjadi seorang Da’i, atau Luna jadi dokter, atau Jingga jadi guru, atau Gaza
menjadi seorang mujahid. Aku selalu berpikir kau akan terus hidup untuk
menyaksikan semua… Dan ternyata untuk yang satu itu, kau tidak menuruti mauku,
mama…
Barangkali kau masih saja ingin tahu, tentang kami
sepeninggalmu. Tentang bagaimana arus hidup terus dan tak berhenti mengalirkan
kami sementara kau tak lagi berada di sini. Tentang bagaimana tembok-tembok
sunyi yang memantulkan suara sepi. Tentang bagaimana jendela-jendela kaca
menyerap kesuwungan kamar bercat biru muda. Tentang bagaimana lantai ubin
menjadi dingin tanpa tatih kaki dan tongkatmu.Tentang banyak senyum di dalam
bingkai foto yang mulai berdebu dan terlupakan.
Lalu tentang kami yang tak berhenti mengeja tasbih penuh
kerinduan untukmu. Tentang kami yang tak berhenti mengemas kangen menjadi
sebungkus doa untukmu, agar kau baik-baik saja di sana, agar kau tenang dan
bisa mengistirahatkan lelahmu 71 tahun terakhir.
Tak pernah kami menduga ma, ternyata kami serindu ini. Tak
pernah terbayangkan sebelumnya ma, sesepi ini tanpa dendangmu. Dendang
menenangkan dan membuai yang akan selalu kami turunkan untuk anak-cucumu. Dendang
'si dodoy' yang disulam berbenang doa tanpa putus untuk kami, agar kami selalu
'mengalir' dan 'bergerak' walaupun tanpa abah dan mama, tidak lantas 'keruh'
dan 'menggenang' akibat terhalang rindu.
Mama sayang, kepala dan hatiku masih penuh dengan dirimu,
berdiri di tengah ruang tamu, duduk di ruang makanmu, menyentuh dapur dan
piring-piring di dalam rak, cangkir seng untuk merebus kopi, semua masih sama,
masih belum bergerak dari terakhir kau tinggalkan. Bahkan untuk menyimpannya ke
dalam lemari pun aku tak ada daya. Kepalaku masih penuh dengan suara-suara
panggilan tak sabarmu, hatiku masih dipenuhi harapan kau ada di luar pintu
rumahku minta dibukakan, jendelamu masih sering kuketuk pelan sembari lirih
menyebut namamu. Tidak, tidak ada sahutan.
“Masih tidurkah, mama?”
Mama, (ternyata) Puji serindu ini.
terharu mbak :"(
ReplyDeletesemoga mama Mbak Puji ditempatkan Allah di sisi paling terindah-Nya, amin
*peluk mbak puji*
allahumma aamiin... makasiiih mbak Pritaaaa....*peluk dari jauuuh*
Deletesediiiih....
ReplyDeletesemoga Allah lapangkan alam kubur beliau, dan Allah terangi dengan cahaya yang benderang
aamiin aamiin aamiin ya rabbal aalamiin...jazakillah mbak Titi :)
DeleteSpeechless mba.. semoga dilapangkan kuburnya dan mendapat terbaik disisi Allah
ReplyDeletemakasiii Mia :) aamiin ya Rabb..
DeleteKenangan tentang Mama ngga akan pernah hilang ya.
ReplyDeleteAku juga merasakan hal yg sama, walau sudah 10 tahun berlalu. Kangen, sekangen2nya :(
waaa udah 10 tahun dan masih kangen sekangen-kangennya? :'( peluuuk mbak Dey dari jauh... semoga beliau diberi tempat yang lapang dan nyaman di sana ya mbak, di sisi Allah SWT, aamiin aamiin ya rabbal aalamiin...
Deletesemoga beliau diterangkan dan dilapangkan ya disana bu...amiin, jadi sedih dan jadi mengingatkan saya untuk selalu bersyukur dan selalu berusaha membahagiakan ibu saya
ReplyDeletemengharukan sekali bu
ReplyDeletejadi sedih dan terharu, semoga beliau selalu berada ditempat yang terindah disisi Allah ya bu..Amin
ReplyDelete