Itu Anak Lelakiku!
Melipat bajumu semalam anakku, tidak bisa tidak ingatanku
terhempas ke masa kau tak bisa lepas dari dot berisi susu hangat.
Tidak bisa tidak terasa kembali buncah rasaku ketika
melihatmu memakai seragam pertamamu, bersemangat dengan sepatu dan tas barumu,
sementara aku menunggumu mengintipmu dari pinggir jendela sepanjang jam
pelajaranmu di taman kanak-kanak, mengawasi mata penuh binarmu mengikuti
pelajaran guru barumu.
Menjahit dan menguatkan satu per satu kancing bajumu,
anakku, memastikannya tidak akan terpental jatuh menggelinding ketika kau
mengenakan atau melepasnya buru-buru kelak, aku menitipkan bersamanya tetes
demi tetes cintaku di setiap tarikan benang, agar kelak ketika kau merindukan
rumahmu, kau bisa mengobatinya dengan menyusuri jejak benang itu.
Menggosok satu per satu bajumu anakku, kutitipkan sejumput
doa di setiap panas yang tertinggal di situ, agar kelak ketika kau memakainya,
kau dalam keadaan baik-baik saja. Mungkin satu atau dua bentol bekas gigitan
nyamuk atau dingin menggigit di tengah malam atau hawa gerah di siang bolong
atau sedikit batuk dan masuk angin tak mengapa, nak, namun tak lantas membuatmu
meneteskan airmata sesal akan keputusan mulia ini.
Memasukkan satu per satu bajumu ke dalam ransel, anakku,
kutiupkan asa dan tak terputus dzikir agar kau selalu kekuatan dan ketabahan
selayaknya memang dimiliki oleh anak lelaki, nak. Kubisikkan harap agar ketika
kau duduk di dalam kelas barumu, kau memiliki rasa yang sama dengan ketika kau
duduk di kelas pertamamu waktu TK dulu, antusias dan bersemangat khas dirimu,
anakku, tak gentar sedikitpun akan lingkungan dan situasi baru di sekelilingmu,
tak mematahkan citamu menjadi seorang da’i muda berbakat kelak, membuatku
dengan bangga dan mantap berkata, “Itu anak lelakiku!”.
Dan hari ini, mengantarkanmu ke pondok pesantren nan
bersahaja itu, anakku, tak perlulah kau saksikan airmataku meleleh tak terbendung
ini di pundak ayahmu, di balik senyum dan dekapku ada bermilyar kata dan pesan
yang tertelan tak sanggup kuretas karena begitu takut aku membuatmu gentar
tertinggal di sana, merasa terbuang dan tersia-sia. Tidak, anakku, kau tidak
terbuang di sana. Kau syuhada untuk agamamu, bagiku dan ayahmu dan adik-adikmu.
Dan detik ini, anakku, duduk sendiri di kamar kosongmu
tiba-tiba terasa begitu suwung senyap, tidak bisa tidak rinduku menyeruak
menyergap tanpa terbendung lagi, dan
seiring rasa yang tak bisa kuejawantahkan ke dalam untaian huruf kata dan
kalimat ini dalam bahasa manapun anakku, aku berharap hawa dan kehangatan kamar
ini bisa kau bawa ke tempatmu duduk sendiri juga di sana.
Segumpal bangga, anakku, akan dirimu, karena kau lah kelak
orang yang berdiri paling depan shaf shalat di rumah kita, orang yang pertama
dan tak putus doa di depan makamku dan makam ayahmu,menguntai amal jariyah-ku,
kita, anakku, di hadapan Tuhanmu,
mengirim bait demi bait doa.
Kelak malam hari ketika tidurmu tak nyenyak anakku, ketika
kau cari sosokku atau pintu kamarku, merindukan adik-adikmu dan renyah canda
ayahmu, pandanglah keluar jendela, nak, dan ingat, selama kita berada di bawah
langit yang sama, selama itu pula cinta dan doaku akan selalu berhembus bersama
udara di sekelilingmu – karenanya aku memilihkan tempat tidurmu paling dekat
dengan jendela, anakku.
Selamat belajar, anakku.
Jadi qurrota a’yun.
Kebanggaanku. Syuhadaku.
Generasi umat Rasulullah di barisan terdepan pembela
kehormatan agama kita.
Kau bisa.
wah baru ini ngomongin si kakak, biasanya una sm jingga terus. Terus belajar ponakan :D
ReplyDeleteHiks iyaa aunty, si kakak tuh ya paling anti kalo difoto apalagi diceritain gt, lah FBnya aja gak berteman ama mamanya kok...:p
ReplyDeleteMakasih doanya yaak...:D