Katakan BIG NO Untuk Balsem dan Obat Merah!


Seminggu yang lalu kami sowan ke rumah Kak Faisal, kakak kandungku. Sudah lumayan lama sih gak mampir ke sana, kalo gak hujan ya panas cetar membahana seperti siang ini nih. Cuaca memang lumayan ekstrim akhir-akhir ini. Setelah seharian panas, sorenya hujan deras disertai petir. Atau setelah sepagian hujan deras, siangnya bakalan panas terik. Sampai-sampai si ayah berkomentar “Ma, di bumi aja panasnya begini ya, bikin kering kerontang, apalagi di neraka kelak, kita dikasih jeda sebentar gak gitu buat ngaso setelah disiksa di dalam api neraka??” masyaAllah, saya gak bisa berkata-kata.

Balik lagi ke rumah kakak saya. Sekalian membawakan sedikit penganan buat anak-anaknya kakak, berangkatlah kami. Sesampainya di sana, ada sedikit kehebohan. Si Hanif, anak kedua aka bungsu kakak sedang mengamuk sembari memukul-mukul bapaknya. Menangis sejadi-jadinya.

“Mau jajan es itu lho, tante, yang lewat depan rumah tadi…” cerita Mbak Sri, istri Kak Faisal dengan logat Jogja medhok-nya setelah aku bertanya heran, kok si Hanif sampai mengamuk begitu. “Lho, biasanya dibelikan tho, Mbak?” tanyaku lagi.


“Iya, biasanya dibelikan bapaknya, lha ini kan bulan tua, belum gajian pula, anak-anak mana ngerti “

“Lha tadi, pas ada tukang esnya, bapaknya bilang apa sama Hanif? Gak punya uang, gitu?” tanyaku lagi sembari mengangsurkan bungkusan penganan yang kami bawakan.

“Ya enggak lah, bapaknya bilang ‘nanti batuk, Nif…’”

Saya langsung tepok jidat. Yang begini ini nih, kesalahan orang tua yang sering saya dapati di sekeliling saya (termasuk saya dan suami, kengkadang, hehe). Sejak awal, gak ditanamkan ke anak, minum es sembarangan itu gak sehat, bisa bikin batuk, dan sejatinya disertai tindakan solusi, misalnya dibuatkan anak pengganti jajanan,  bisa es mambo mangga bikinan sendiri, es krim kacang hijau, pudding, atau apa lah. Yang penting biasakan anak untuk tidak jajan sejak awal. Kalau sudah begini (paceklik dompet), baru deh alasan “bisa bikin batuk” terlontar. Mana bisa Soob…

Apalagi punya anak kayak Lubna dan Jingga yang setiap pagi,begitu melek mata, melek mulut, kata ayahnya. Iya, bangun tidur pasti nyari makanan! Ayahnya sampai berkomentar “Untung yaa mama itu pinter bikin kue, kalo enggak bisa bangkrut nih ayah, beli makanan teruuus” Duuh, does my head look bigger now? Hihihi…

Anak itu sebenarnya sama seperti kita, orang dewasa. Yang mereka butuhkan Cuma satu, dialog. Ya, dialog. Anggap mereka ‘ada’, anggap mereka mengerti maksud kita (karena mereka memang mengerti!), dan jangan pernah bosan mengulangi dialog yang sama. Jangan anggap remeh anak lho. Mereka itu sebaik-baik pendengar dan peniru.

Seperti halnya Lubna dan Jingga, sejak awal memang tidak dibiasakan jajan. Tentunya mereka bingung awalnya, kenapa gak boleh jajan, padahal teman-teman seusia mereka diberi uang jajan. Nah disini nih tugas kita, ayah DAN ibu (harus keduanya lho, jangan hanya satu pihak sajah) untuk memberikan reason yang paling sedernaha yang gampang dicerna anak. Beritahu saja mereka, bahwa jajanan itu belum tentu sehat, bersih dan benar proses masaknya. “Kalau mama yang bikin kan, Lubna sama Jingga bisa lihat dari awal sampai akhir, mulai dari mama belanja bahan, sampai mama bikin, dan akhirnya mateng. Lubna ama Jingga juga boleh kok bantuin mama bikin kue…”  atau “Lubna sama Jingga mau pudding buah apa? Nanti kita beli buahnya, lalu kita bikin bareng, oke? Mau pudding mangga atau jeruk? Boleh pilih…” nah di sini kan pendapat anak memang harus didengar dan dihargai. Kalau mereka pilihnya mangga, ya kudu dibelikan dan dibikinkan. Dan hey, itu works banget, lho! Mereka terbiasa gak minta jajan, dan requestnya selalu seputar bahan-bahan yang sehat dan murah meriah, seumpama pudding mangga, cupcake wortel, muffin jagung keju, dll dsb.

Kalo alasan ayahnya sih simple,” iya kalo sekarang kita ada duit buat beliin mereka jajan, nah kalo pas terbentur keadaan gak punya, apa anak mau mengerti?” Oh iya ya, bener juga.  Dan memang, anak-anak kami GAK pernah sampe nangis kejer gitu kalo pas minta jajan dan gak dituruti. Alhamdulillah…

Selain masalah perjajanan ini, anak-anak memang selalu dilibatkan lho dalam percakapan. Jadi mereka terbiasa kritis bertanya kalau pas gak ngerti. Seperti tadi siang, ayah nemu fosil kadal kecil di halaman rumah, si mama langsung siap dengan kamera HP, Lubna langsung datang dengan berondongan pertanyaan “itu kenapa, ma, kok tinggal durinya? Dimakan kucing kah? Kok bentuknya kayak dinosaurus gitu sih? Tapi kecil ya ma? Anaknya dinosaurus kah? Mama bapaknya mana, ma, kok dibiarin mati gitu? Aduh kasiannya maa…tapi kok bau, ma?” dan sepuluh pertanyaan lagi yang bisa bikin mamanya keliyengan kalau ditambah cerewetnya Jingga yang ikutan nanya juga.



Seperti halnya si 2 tahun Jingga, seminggu ini kami sedang merayakan keberhasilan menyapihnya. Iya, di usianya yang ke 27 bulan, dia baru berhenti ngASI. Banyak juga sih yang protes atau heran, kenapa gak disapih pas di hari ulang tahunnya yang kedua? Kenapa gak tegas sama anak sih, berhenti ya berhenti, dengan cara apapun.

Ada yang nyaranin, PD mamanya dilumuri balsem (doh panas booook). Ada juga yang suruh pake obat merah, daun pepaya yang digerus, sampe tempelin handiplast atau perban (rempong yee). Alamak, saya gak tega. Kenapa sih bisa dapet ide ekstrim begitu? Gak sayang sama anaknya kah? Waktu saya tanya ke sodara yang sengaja tega ngolesin balsem ke PDnya, kenapa, dia jawab “gak enak, mbak, sama mertua, udah diwanti-wanti gak boleh menyusui lagi setelah 2 tahun, soale kalau lebih 2 tahun itu, ASInya jadi racun…” MasyaAllah…

Allah menciptakan dan menyediakan ASI untuk setiap ibu dan anak, untuk kesehatan dan keberlangsungan hidup, lho, bukan untuk mematikan atau membahayakan jiwa si anak. Dapet darimana ide ASI jadi racun ituuuu? Phu-lease deehhh….! Tahu gak sih, ASI itu mencegah kanker payudara dan serviiks? Tahu gak sih, ngASI itu mencegah anak berprilaku hiperaktif dan melekatkan hubungan ibu-anak?

Maaf maaf saja, saya gak bakalan mau memaksa anak saya untuk stop ASI. Iya, saya menyapihnya kok. Tapi dengan cinta. Ini yang dinamakan WWL alias weaning with love. Mengapa proses menyusui yang diawali dengan cinta kasih, harus diakhiri dengan balsem, obat merah dan daun papaya yang pahit? Mau bikin anak trauma ya? Mau bikin anaknya memandang ibunya dengan tatapan memelas ya? Kebayang gak kalo si anak tetep ngeyel mimik sementara PD ibunya berlumuran balsem? Tega gitu?

Dalam Islam pun kita dilarang menyakiti perasaan anak kecil lho. Terbukti dengan Rasulullah yang ketika shalat dan mengimami banyak jama’ah, beliau menggendong cucu yang masih kecil, saking sayangnya beliau pada cucunya!

Berdasarkan riwayat dari Abu Qatadah RA, Rasulullah SAW pernah shalat, sementara Umamah —anak perempuan Zainab, yakni putri Rasulullah SAW— di bahu beliau. Jika Rasul rukuk, maka beliau meletakkan anak itu dan jika bangkit dari sujud, maka beliau mengangkatnya dan meletakkannya kembali di atas bahu beliau. Amir berkata, "Aku tidak menanyakan shalat apa sebenarnya yang beliau lakukan ketika itu." Namun, Ibnu Juraij berkata, "Aku diberitahukan oleh Zaib bin Abu Itab dari Umar bin Sulaim bahwa shalat yang dikerjakan Rasul SAW saat itu adalah shalat Subuh.” (HR Bukhari, sebagaimana dikutip Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah). 


gambar dari sini 
Dari Abdullah bin Syaddad, dari ayahnya, dia berkata, "Pada suatu siang, Rasulullah SAW keluar untuk shalat Dzuhur atau Ashar. Beliau membawa Hasan atau Husein, lalu beliau meletakkan anak itu di depan beliau saat akan shalat, kemudian bertakbir. Setelah itu beliau sujud cukup lama."
"Aku, kata Ibnu Syaddad, "mengangkat kepalaku dan saat itu aku melihat anak itu berada di atas punggung Rasul SAW. Aku pun kembali bersujud. Setelah selesai, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tadi engkau sujud begitu lama, sehingga kami menyangka telah terjadi sesuatu atau wahyu turun kepadamu?” 
Rasul bersabda, “Bukan begitu. Hanya saja, cucuku ini naik ke atas punggungku. Dan aku tidak ingin menurunkannya dengan segera hingga dia merasa puas (berada di atas punggungku).” (HR Ahmad, Nasai, dan hakim).



Nah, gimana tuh dengan menyapih paksa dengan balsem, obat merah, daun pepaya dan lain sebagainya itu? Bukankah membuat anak sakit hati? BIG NO!

Proses menyapih Jingga saya awali semenjak dia menginjak usia 23 bulan. Ya, gak seekstrim dan seinstant balsem. Tapi setiap mau bobok, saya bisikkan di telinganya, “sebentar lagi Jingga sudah 2 tahun lho, sudah besar, kalau haus minumnya air putih ya sayang… Mimiknya nanti mau dipinjam adik yang masih di dalam perut mama nih… boleh ya sayang?” dan jawabannya memang selalu berupa anggukan kepala, tapi balik mimik lagi, hehehe. Dan sounding ituuu berlangsung selama 4 bulan, saya dan suami gak bosen-bosen mengulangi kalimat yang sama.

Terbukti doong, di usianya yang menginjak 27 bulan, Jingga stop total menyusu. Subhanallah, tanpa paksaan dan tangisan menyayat apalagi pandangan mata memelas! Sekarang kalau Jingga ditanya, mau mimik gak, dia jawab dengan santainya “Jingga kan udah gede ma, mimiknya juga kan mau dipinjam adik..”




Subhanallah…

Saya jadi inget cerita teman blogger saya di sini, perihal betapa suaminya ambil cuti khusus dalam rangka bekerjasama menyapih anaknya, dan betapa mereka kompak banget ngeWWL anak mereka.Luar biasa!

Nah, masih perlu balsem, obat merah atau handiplast? Buang jauh-jauh deh tuhh…;)

Comments

  1. wah sama nih, tapi aku sempet pakai kopi bubuk karena sekalian mengobati lecet puting, akhirnya kukatakan bahwa Selma jangan menyusu lagi, dada bunda sakit, tuh kaya gitu..hehe, akhirnya keesokan harinya langsung No, aku udah gak mau nyusu (usia 2.2bln)

    salam kenal yaa :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalo lecet mah sering mbak, aku biarin aja sesakit2nya, paling sambil gigit bantal, hehe, abis tu sembuh sendiri.

      Delete
  2. setuju mba..
    kalau anak saya mulai sounding sejak usia 20bulan, dan ternyata nerap ke otaknya.. jadi waktu praktek wwl di usia 26bln, dia mau berhenti menyusu..
    alhamdulillah tanpa galau dan sakau seperti yg diceritain ibu2 lain :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak, memang tergantung kesabaran orang tuanya. saya perlu waktu 4 bulan, nah mbak lebih ya mbak, 6 bulan, hehe...
      alhamdulillah, WWL memang jalan terbaik menyapih anak :)
      slam kenal dan makasih ya mbak :)

      Delete
  3. Saya sedang dalam proses sounding nih, mak. Rafasya 22 bulan. Huhuhuhuuu... Ngebayangin dia menyapih diri sendiri aja udah bikin mewek. Rasanya pengen nyusuin dia terus :))
    Oya, kok menghilang dari perpesbukan dan BBM mak? Lagi sibuk apa?

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehe... ayo mak semangaaat, always WWL dan soundingnya jangan bosen. sebenernya semua tergantung kita kok, ikhlas apa kagak. kadang aku juga masih sering iseng nawarin jingga mimik, masih sering kangen soalnya, hihihi...
      BBM error mak, contact banyak yg ilang. FB masih berteman tho? kok pada ilang yak :( ntar aku cek mak...
      lagi sibuk dengan perentilan 2 balita aja mak :D
      piye kabare?

      Delete
  4. Subhanallah, mak. Ternyata anak hanya butuh dialog ya, dibanding paksaan yang bakal bikin mereka trauma seumur hidup.

    ReplyDelete

Post a Comment

Terimakasih yaa sudah mampir dan berkomentar ^^

Popular Posts