dalam doamu, ma, namaku disebut


Kemarin, tak seperti biasanya mama mengetuk pintu rumahku setelah sebelumnya berseru memanggil nama anakku Luna dan Jingga. Seketika Luna Jingga berlari menyongsong pintu depan dan membukanya.

Mamaku dengan tongkat di tangan kanannya berdiri di ambang pintu, tengah bersusah payah melangkah.
Segera kupegangi lengannya dan kutuntun masuk ke ruang tamu. Pelan, mama duduk di sofa. Pelan sekali. Maklum, lutut kanan mama memang bermasalah. Kata dokter sih kepadatan tulang mama sudah jauh berkurang, terutama di bagian persendian lutut kanan, sehingga mama sangat sangat kesulitan untuk menekuknya. Seminimal mungkin mama menghindari gerakan menekuk lutut, karena akibatnya akan luar biasa sakit… Bahkan untuk shalat pun mama harus sambil duduk selonjoran di ranjang atau rebahan.


Sedih hati ini kalau melihat kondisi mamaku sekarang. Berbagai jenis terapi dan obat-obatan sudah mama coba, belum lagi ke tukang-tukang pijat, sepertinya sudah dicoba semua sama mama. Mungkin ini akumulasi kelelahan mama. Bayangkan, beliau sekarang berusia 67 tahun. Sampai 20 tahun yang lalu, mama mendampingi almarhum abah selama 30 tahun lamanya, mengabdi sebagai istri dan ibu 6 orang anak tanpa pembantu. Bagiku beliau bukan hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Beliau ibu yang luar biasa untuk kami semua. 

Tak perlu lah kujelaskan mengapa aku menyebutnya ibu rumah tangga luar biasa. Sanggup dan sukses mengarungi bahtera rumah tangga bersama almarhum abah selama 30 tahun tanpa sedikitpun konflik berarti, bagiku itu luar biasa. Mama dengan segala kelebihan dan kekurangannya setia mendampingi abah dengan segala kekurangan dan kelebihan abah pula. Itu sudah cukup bagiku untuk memberi predikat luar biasa untuk mama.

Sampai sekarang, kalau kakak-kakakku bicara pada mama melalui telepon, tidak pernah tidak beliau selalu bertanya “Sehat kah nak? Sudah makan?” dan diakhiri dengan kalimat “Mama sayang ya nak…”dan kalimat yang selalu tercetus spontan itu mewarnai hari-hariku, menjadi suplemen penambah energiku saat aku lelah dengan masalah-masalah berat yang pernah menderaku.

Oke, balik lagi ke mama yang pagi itu mengunjungi rumahku. Setelah beberapa saat beliau bersenda gurau dengan Luna dan Jingga, beliau berbalik ke arahku, bertanya “Hari mana?” beliau menanyakan suamiku.

Setelah kupanggil suamiku, mama lalu mengutarakan keinginannya untuk membeli sebuah kasur. “Untuk apa kasur ma? Kan mama sudah punya banyak kasur di rumah?” tanyaku heran.

“Kasur single saja kok. Yang tipis..” jawab mama.

“Lah apalagi yang tipis, buat apa, ma?”

“Buat nanti kalau mama meninggal, kasur itu untuk merebahkan tubuh mama sementara kalian mengkafani dan menyolatkan mama...”

Degg…

Seketika itu air mataku merebak. Kenapa mama punya keinginan dan pikiran seperti itu?! Aku berbalik dan memandang suamiku. Dia hanya memegang tanganku dan meremasnya.

“Iya, ma, nanti Hari belikan…” jawab suamiku.

“Mama merasa sudah tua sekali, Ji. Sudah capek. Capek berobat kesana kemari gak sembuh-sembuh. Capek jalan harus pakai tongkat begini. Capek gak bisa bebas, sebebas dulu…” keluh mama. “lagipula, untuk apa mama lama-lama, ngerepotin kalian saja…”

“Maa… istighfar…” ucapku pelan.

Kembali suamiku meremas jemariku. “Sudah, de, mungkin mama memang lagi capek, gak enak badan… kita penuhi saja maunya mama ya?” bisiknya. Aku mengangguk pelan.

Ah mama. Sebenarnya aku bisa mengerti lelahmu, ma. Aku yang baru usia 31 saja rasanya lelah banget mengurusi anak-anak, rumah, suami, toko,… apalagi mama yang sudah usia 67 dan sudah mendampingi abah selama 30 tahun, belum lagi mengandung, melahirkan dan membesarkan kami berenam. Tapi gak rela rasanya kalau mama sampai ngomong begini.

Belum sempat aku melakukan apapun untuknya, untuk membalas segala pengorbanannya. Dia yang memberikan separuh bahkan seluruh hidupnya untuk kami berenam. Dia yang sampai detik ini tak berhenti memikirkan kebutuhan anak-anaknya, cukup atau tidak, bahagia atau tidak, sudah makan atau belum, kalau sakit harus minum obat… Dia yang rela berkata “makan kuenya, nak, habiskan yaa, mama sudah kok…” padahal lidahnya tak sekalipun tahu bagaimana rasa kue itu. Dia yang sampai aku duduk di bangku SMA, aku masih tidur seranjang dengannya. Dia yang mengantar jemput aku sekolah dengan motor bebeknya.

Ah mama. Sehat-sehatlah terus. Aku tak berani sedikitpun membayangkan tubuh renta tanpa ruhmu rebah di kasur tipis itu. Aku tak berani memikirkan hari-hariku tanpa omelan dan bawelmu ketika anak-anakku menangis. Aku tak berani memikirkan aku masuk ke dalam rumahmu dan hanya menjumpai sepi suwung tanpa jejak kakimu di situ. Aku tak akan berani membuka mata setiap pagi dan menyadari doamu berhenti mengalir untukku dan keluargaku. Karena aku tahu, dalam setiap doamu ma, namaku disebut…


mamaku :)


Comments

Popular Posts