Let It Go


Kuambil benang dari lacimu, kain dari lemarimu, kujahit menjadi selimut di kala dingin menyergap sepi. Lalu kuambil kayu dan palu kujadikan lemari untuk menyimpan kenangan. Kemudian kuambil tongkatmu lalu kujadikan penyangga hatiku di kala rindu...


Beberapa kali menonton film UP! punya bocah di rumah, namun baru 2 atau 3 kali terakhir saya dapetin poin dari film itu. Perihal mimpi yang dibangun sejak anak-anak. Perihal keinginan yang gak selalu sesuai dengan kenyataan. Perihal ditinggal orang yang begitu dicintai. Dan perihal melepaskan apa yang perlu dilepaskan demi kelangsungan hidup. Melepas mimpi. Melepas barang-barang yang sarat kenangan, karena sejatinya kenangan itu sudah terpatri dengan sempurna di hati, bukan di barang-barang peninggalan. Dengan satu catatan : ikhlas. Ya, ikhlas. Maka segalanya akan berubah menjadi ringan dan mudah.

Semalam, sekali lagi rindu itu datang menyelinap lalu menyapa di tengah obrolan perihal makna ikhlas sama pak ayah. Perihal melepaskan apa yang harus dilepaskan, daripada nantinya saya gotong-gotong hati yang gondok kemana-mana. Perihal makna ‘menyimpan’ kenangan, yang mana yang perlu dan seharusnya disimpan, yang mana yang perlu ‘ditinggalkan’ di belakang atau melepaskannya dari hati. Perihal sulitnya melepaskan itu, namun kelegaan yang insyaAllah bakalan kita dapetin setelahnya.

Ya, kenangan akan mama. Itu yang seharusnya disimpan, kan? Bukan barang-barang atau pernak-pernik yang saya sendiri gak kuasa untuk merengkuh semuanya dalam satu helaan nafas. Barang-barang yang kalau saya melihat dan menyentuhnya, kenangan akan mama akan tampil di angan seperti pemutar film lama. Tapi sampai kapan bakalan seperti itu? Sampai kapan kalau saya memegang atau melihat lalu rasa rindu menyergap gak tertahankan? Sampai kapan kalau pernak-pernik mama berubah bentuk, rusak, dipindah atau dibuang saya bakalan ngambek dan marah-marah seakan-akan mama bakalan balik lagi ke dunia dan mencari barang-barang beliau yang hilang itu? Sampai kapan saya berusaha menyelamatkan semuanya dengan harapan kenangan mama akan tersimpan sempurna di situ?



Saya pernah sampai di suatu keadaan saya sedang marah dan kalimat-kalimat gak terkontrol sudah berdesak-desakan di tenggorokan hampir terlontar.  “Ambil saja semua tanpa tersisa! Tapi kembalikan mama ke samping saya!”

Astaghfirullahal adzim...        

                                                                 

Siapa yang kuasa mengembalikan mama? Siapa yang mengambil mama? Siapa yang dengan seketika memberangus mimpi saya untuk terus berada di samping mama sepanjang hayat?

Ya Allah... ampuni saya. Rupanya saya belum saja ikhlas. Rupanya saya belum rela...

Maka di sinilah saya. Masih tertatih menyusur jalan ikhlas. Masih terbata mengeja kata rela. Masih terlilit benang rindu. Tapi saya akan terus belajar mengkhatamkan pelajaran ikhlas ini. Setiap hari, sepanjang hidup. Karena ilmu ikhlas itu, pelajaran sepanjang masa.

Melafalkan kalimat “Let It Go…”


Popular Posts