Cerita Tentang Pemuda Pesisir
Di 7 hari kepergian Bapak.
Bapak. Ya, masih tentang bapak.
Bapak. Ya, masih tentang bapak.
Tempo hari suamiku mengobrol panjang dengan ibu via telepon
perihal detik-detik kepergian bapak. Tak
perlu banyak pikir, aku menyimpulkan bapak adalah lelaki beruntung. Mengapa?
Aku memang tak terlalu mengenal bapak secara personal. Namun
mengingat lagi cerita suamiku perihal bagaimana sosok seorang bapak, semenjak
puluhan tahun silam, membuatku tak henti bertanya-tanya, seperti apakah sosok
bapak itu sebenarnya. ya, tentang sosok
bapak yang kuat, tangguh dalam usahanya membawa keluarganya menuju ke kehidupan
yang lebih layak. Bapak yang seorang biasa saja, dari kalangan keluarga yang
pas-pasan, dengan latar belakang pendidikan yang tak terlalu tinggi, si anak
pesisir penyuka Rhoma Irama dan A. Rafiq ini tumbuh menjadi lelaki ganteng dan akhirnya sanggup memenangkan hati
ibu yang notabene dari kalangan terpandang pada masanya.
Cukup mengherankan kami dan sempat pula bertanya-tanya,
seorang bapak yang sampai akhir hidupnya selalu mengalami kesulitan dalam
mengejawantahkan perasaannya kepada orang-orang yang beliau sayangi, sanggup
memenangkan hati seorang wanita mantan atlit sepeda nan arogan tomboy dan keras
kepala macam ibu. Yah, itulah keajaiban cinta. Tuhan memang Maha Pembolak-balik
hati manusia.
Seperti yang diceritakan suamiku, bapak tak pernah surut
langkah dalam usahanya mensejahterakan keluarga. Mulai dari pekerjaan kernet bis,
dagang kerupuk, buruh pabrik, sampai buruh bangunan. Tak ayal keempat
anak-anaknya bertumbuh dengan bekal pendidikan cukup dan bisa hidup layak
seperti keinginan bapak. Tak berlebih, namun cukup. Malukah istri dan anak-anak
beliau? Tidak! Bahkan sampai akhir hidupnya, ibu dan keempat anak beliau selalu
menceritakan perihal bapak dengan mata berbinar bangga.
Kepada suamiku yang adalah putra pertama beliau, diterapkan
sistem disiplin keras dan kaku. Terbukti dengan pernahnya suamiku menjadi loper
koran di masa usia sekolahnya untuk mendapatkan uang jajan. Juga dengan
kerasnya sistem yang diterapkan di rumah, mulai dari pagi buta, badi kecil
harus sudah bangun dan shalat subuh, kalau susah dibangunkan, maka segayung air
dingin yang berasal dari sumur belakang rumahlah yang menyapa wajahnya. Sempat
bersitegang dengan ibu tentang didikan disiplin kaku itu, bapak tetap teguh dengan
caranya sendiri.
Terhadap ketiga anak-anak perempuannya, perlakuan bapak jauh
berbeda. Memanjakan mereka dengan kasih sayang (yang juga tentu saja kaku),
melalui hadiah-hadiah kecil sederhana yang bapak bawakan sepulang kerja.
Ya, rupanya itulah konsep cinta bapak terhadap anak-anaknya,
dengan tindakan. Tak ada belaian sayang atau kata-kata mesra untuk anak-anak.
Kata ibu, bapak memang selalu mengalami kesulitan dalam mengungkapkan
perasaannya. Itu pula yang menjadi penyebab sakitnya bapak di beberapa waktu
terakhir hidupnya. Satu per satu anak-anaknya meninggalkan rumah untuk
berumahtangga -- termasuk badi kecil yang sesungguhnya amat beliau sayangi,
merantau ke pulau Kalimantan dan menikah denganku--, satu per satu keping
pulalah hati bapak terpatah. Kesepian yang tiba-tiba menyergap bapak, rumah
yang biasanya penuh dengan senda gurau anak dan istrinya, tetiba senyap suwung.
Kangen suasana rumah dan kehangatan dulu, membuat bapak
down, terlebih dengan kesulitan bapak dalam mengungkapkan rasa melalui bahasa
verbal, membuat beliau semakin tersudut dalam keheningan sepi. Usahanya
mengusir sepi dengan terus bekerja sebagai buruh bangunan di usia senja, tak
menyurutkan kesedihan beliau, sampai akhirnya hari itu datang, hari di mana
beliau tak dapat menanggungnya lagi.
Mendengarkan cerita ibu perihal detik-detik kematian bapak,
mendadak membawa memoriku kepada sosok abah, ya, abahku. Abah yang semasa
hidupnya tak pernah lepas dari kerasnya usaha mencari nafkah untuk istri dan
keenam anak beliau. Lokasi pengeboran eksplorasi minyak bumi di hutan-hutan
pedalaman dengan medan berbahaya menjadi rumah kedua abah.
Berteman akrab dengan pekatnya malam, dinginnya air hujan,
terik panasnya matahari, dan kentalnya curahan minyak bumi yang melekat akrab
di pakaian kerja, tak lantas membuatnya hilang iman terhadap Sang Khalik. Tak pula
lantas mengikis kehangatan pelukannya ketika pulang ke rumah dengan oleh-oleh
permintaan anak-anaknya.
Lelah tak terperi. Mungkin itulah yang dirasakan abah dan
bapak di masa-masa terakhir kehidupan mereka.
Entah mengapa, kematian bapak, mengingatkanku kepada
kematian abah. Mereka sama-sama pergi dalam keadaan tidur. Sama-sama sedang
menggenggam tangan istri masing-masing, tanpa pesan apapun. Terejawantahkan
melalui aliran cinta yang semakin melemah di detik terakhir. Terlukis di senyum
yang entah bagaimana caranya terukir di ujung bibir. Khusnul khotimah.
Allahumma aamiin.
Teringat tulisan Fauzan Mukrim di salah satu ceritanya.
Bahwa kita tak akan pernah menang bila melawan takdir. Tak akan pernah mampu
merancang kematian, akan seperti apa dan sedang bersama siapa, memegang tangan
siapa, atau sempat berpetuah apa dan kepada siapa dulu sebelum pergi. Bisa saja mati terlindas truk. Bisa
saja mati terlempar dari kereta api. Bisa saja mati karena peluru nyasar. Siapa
yang tahu?
Namun bapak dan abah adalah dua lelaki beruntung.
Bapak dan abah sama-sama pergi dengan jemari bertautan
dengan jemari istri tercinta. Mereka pergi dengan hati yang akhirnya berdamai
dengan keadaan. Pergi dalam keikhlasan yang akhirnya bersemayam dalam senyum
di bibir, di tidur panjangnya. Pergi dengan melepaskan segala peluh lelah
banting tulang semasa hidupnya.
Ya, akhirnya si Pemuda Pesisir berpulang...
Ya, akhirnya si Pemuda Pesisir berpulang...
Paling tidak, satu lagi doa kutambahkan dalam daftar
permohonan kepada Illahi Rabbi. Bisa meninggal dalam keadaan khusnul khotimah,
dan ketika aku tak mampu lagi berucap, orang-orang terdekatku mengetahui dengan
baik, betapa aku mencintai mereka. Sangat.
gambar dipinjam dari sini
gambar dipinjam dari sini
aaaamiin, semoga doanya terkabul ya bu..
ReplyDeleteinsyaAllah :)
DeleteMengharukan.....T____T
ReplyDeletebenarkah, Deny? *sodorin kotak tissue*
Delete:)