Cerita Untuk Semesta : Tentang Tidak Saja Hanya Melihat Ke Langit
Jadi ternyata, mama sudah lama
tidak berkisah apapun padamu, ya Nak... Maafkanlah. Tidak akan mama
mengarang-ngarang alasan untuk tidak menulis untukmu. Tidak nak. Yah, kalau
ayah bilang, semua memang berawal dari niat. Gak ada niat, mau laptop setipis
dan seenteng apapun, atau PC dengan processor sekelas AMD Athlon II di Cozynet,
bakalan berkedip-kedip saja cursor di layar. Masih untung tidak hang.
Jadi nak, besok, 5 Maret, genap 6 bulanmu. Berbeda dengan 5 kali ulang bulan
sebelumnya, kali ini mama sedikit nervous. Bagaimana tidak, besok hari
pertamamu makan MPASI!
Aneh ya nak, bikin MPASI saja harus pakai nervous. Padahal seperti kakak-kakakmu dulu, mama cuma sedia sesisir pisang -- kalau orang Banjar bilang ini pisang -- lagok. Montok, bulat, manis, dan tentunya mengenyangkan. Cukup mengenyangkan dan bisa membuatmu tidur lelap setelah makan. Mama bisa masak, beberes,
Kesampingkan saja kemungkinan mama menyediakan buah itu bukan karena
manfaatnya, tapi karena harganya yang relatif murah. Bayangkan saja nak, satu
sisir pisang lagok ini, mama tadi cukup membayar 5 ribu perak. Kalaupun
mengandung manfaat luar biasa, itu baru namanya bonus...:))
Cih, sombong kali ya nak. 5 ribu dikata murah? Padahal kita sudah sering
melihat pengemis yang tidak punya kaki itu berpanas-panas ria seharian di
trotoar jembatan Sulingan, menunggu orang-orang lewat yang berbaik hati
menggugurkan selembar uang seribuan ke keranjang mungilnya.
Sering ayahmu bertanya-tanya pelan pada mama "itu mbak-mbak siapa yang
nganterin ke trotoar itu ya ma? Tega banget tu orang..."
Entahlah. Lagipula untuk apa mencari tahu siapa orang di belakang mbak-mbak
berjilbab tanpa kaki yang malang itu? Trus kalau tahu, kita mau apa?
Mungkin saja, ya, mungkin saja Tuhan yang meletakkan dia di situ, untuk
mengasah empati dan simpati orang yang lalu lalang di depannya, untuk memilah
siapa saja yang berkenan menjatuhkan koin atau lembaran di keranjang mungilnya,
dengan seorang malaikat penjaga di sampingnya. Mungkin saja dia ada di sana
sebagai pengingat, bahwasanya mata ini tidak hanya bisa dipakai untuk melihat
langit, namun juga seharusnya (selalu) dipakai untuk melihat yang di bawah.
Mungkin saja.
Itu satu cerita nak. Ada lagi cerita lain. Cerita ketika mama bangun setiap
pagi, mencampur telur, gula, tepung dan mentega, membuat puluhan bahkan ratusan
cupcake, dalam keadaan hamil. Atau ketika tengah malam buta, sembari mengobrol
dengan ayahmu, menuangkan cairan agar-agar beraneka rasa dan warna ke dalam cup
pudding. Tentu saja, gampang sekali mengingat masa-masa dulu, ketika ayah dan
mama pertama kali merintis usaha kue. Masih ingat "Mini Muffin dan
Cupcake"? Ini dia fanpage-nya, nak, kalau sewaktu-waktu kamu ingin tahu seperti apa rupa kue-kue yang pernah mama buat dan jual.
Iya, mama dulu jualan kue-kue mungil itu nak. Seringnya cupcake vanilla isi
abon. Perkara rasa, silakan tanya pada ayah. Dengan menakar dan menghitung
jumlah bahan sesuai resep, insyaAllah setiap gigitan kue itu tidak kalah
rasanya dengan cupcake-cupcake mahal pada umumnya.
Mengapa mini? Ya karena harganya pun mini. Untuk ukuran sekali hap, mama
memberi harga 1000 rupiah per-cup. Cupcake dengan isi abon dan topping keju,
harga 1000 cukup masuk akal.
Lalu pudding, satu cup puding, juga dihargai 1000 perak. Isinya macam-macam.
Ada puding mangga, stroberi, jeruk, cokelat, melon. Tentunya semua bahan pakai
yang berkualitas, mulai dari susu kental manisnya sampai serbuk minuman
berperisa bernama Nutr*sar* yang notabene lumayan di kelasnya. Enak? Sudah
pasti. Apalagi dalam keadaan dingin, 5 cup saja kurang kalau sekali makan.
Menurut mama lho :))
Perjuangan menjual kue-kue mini itu
lah nak, yang mama tidak akan pernah bisa lupakan. Ayahmu, dengan motor
matic-nya dulu itu, membawa puluhan bahkan ratusan cup pudding dan cupcake itu,
menitipkannya di warung-warung, lalu sisanya dibawanya ke sekolah-sekolah TK
dengan target pasar ibu-ibu yang mangkal di depan pagarnya sembari menunggu
anak-anak mereka keluar. Berbagai reaksi yang timbul, nak. Mulai dari tatapan
curiga kepada ayah dan dagangannya sampai pertanyaan A sampai Z perihal bahan
yang dipakai di dalam setiap cup kue. Pakai pengawet kah? Pakai pemanis
sintetis kah? Pakai pewarna kah? Eh ujung-ujungnya gak jadi beli, masyaAllah J
Terasa aneh, ketika mereka memandang
skeptis dan tidak percaya, setelah mendapatkan jawaban jujur dari ayahmu, nak,
bahwa kue-kue yang dia jajakan bebas 100 % dari zat-zat merugikan di atas,
dengan harga murah seurah-murahnya kue. Biasanya, mereka bilang, kue dengan
harga segitu (1000 perak) gak pake bahan bagus dan berkualitas seperti yang
ayahmu sebutkan merk-merknya. Padahal pertanyaan-pertanyaan itu sungguh tidak
perlu, bukan, nak, kalau mereka mau beli satu saja kuenya lalu mencicipinya,
karena lidah tidak akan bohong tentang kualitas!
Ayahmu akhirnya hanya menjawab “InsyaAllah
kami jualannya jujur, Bu, karena yang makan kue ini bukan hanya pembeli seperti
ibu-ibu dan anak-anak ibu sekalian, tapi juga anak-anak saya di rumah…”
Padahal, taruhlah kalau ayah dan
mama mematok harga lebih mahal, sama
seperti umumnya harga kue yang sama di bakery-bakery, memangnya mereka mau
beli? Atau memangnya mereka gak akan berkomentar
“Iiish, mahalnya Pak kuenya…
biasanya harganya paling seribuan saja…”
Manusia, ya Nak. Begitulah. Tentang
kue-kue yang dititipkan di warung-warung, lain lagi ceritanya. Namapun kue
bikinan rumah tangga, tanpa pengawet pula, masa kelayakan makannya paling lama
3 hari. Selebihnya, kami akan ambil satu-satu dari warung tempat menitipkan
kue. Seringnya, bersisa lebih dari separuh, nak. Dan seringnya pula, kue-kuenya
sudah ditumbuhi jamur. Ayah seringkali membawa pulang kue-kue atau pudingnya,
dan berujar “Ma, kalo pudingnya gak bisa dimakan lagi ya? Kalau kuenya masih
bisa dihangatkan di oven kan? Nanti ayah yang makan deh untuk sarapan, enak kok
hangat-hangat, mama tolong bikinin kopi aja ma…” dan bongkah bernama pedih itu
pun bercokol memaksa airmata melesak keluar sembari mengaduk secangkir kopi
panas.
Pernah suatu kali, kami menitipkan
kue di sebuah warung, 3 hari setelahnya ayahmu menyambangi warung itu, dan
tutup. Ya, berhari-hari berminggu-minggu, warung itu tutup. Begitu buka, kami
ke sana dengan maksud ingin mengambil wadah kue, si ibu jualan berujar “Waduh,
saya lupa, kemarin laku berapa ya? Sepertinya sih sampai jamuran gitu pak, lalu
saya buang saja. Maaf, kemarin kami tutup warung, ada acara di luar kota…” dan
kami pun membawa wadah kuenya tanpa bayaran sepeser pun, dengan airmata dan
isak tertahan di tenggorokan.
Belum lagi perihal harga. Dengan destinasi
1000 perak saja per cup, kami gak berharap lebih untuk dapat untung banyak,
sekedar mengganti harga bahan saja sudah Alhamdulillah, karena memang
rencananya mau memperkenalkan kue-kue ini dulu di masyarakat, bahwa kue-kue itu
bisa dipesan, dan harga pun murah meriah. Menitipkan kue di warung pun kadang
jadi dilema dalam menentukan harga. Mau dijual 1000, si empunya warung mau jual
lagi dengan harga berapa? Dan kadang, yang bikin tambah mama dan ayah nyesek,
nak, mereka gak sudi naro harga 1200 atau 1300, alasannya susah ngitung
kembaliannya. Ah nak, tentu saja mereka berhak atas apapun yang mereka katakana
ya nak, namun izinkan mama merasa ingin menantang mereka membuat kue yang sama,
sama bahan, sama ukuran…:’(Beberapa kali mematok harga 900 perak, mama dan ayah
akhirnya memutuskan, gak bisa bertahan dengan harga segitu!
Tentu saja, tidak semua pengalaman
pahit. Tidak jarang, beberapa teman memesan kue untuk pengajian atau ulang
tahun anak-anak mereka, dan dengan harga sama dengan harga kue di bakery di
Tanjung! Alhamdulillah. Allah memang selalu, dan akan selalu adil, ya nak?
Itulah nak, sebab mengapa mama
sekarang, duduk di sini, menulis ini, sembari menunggui dagangan hijab dan
ayahmu di sana, di kursi operator warnet, mengumpulkan seribu dua ribu perak,
sembari membaca beberapa headline di situs berita online. Tentang perkara
korupsi di negara ini. Perkara korupsi yang ekivalen dengan perkara akhlak dan
akidah, dan perkara tidak tahu malu. Tidak tahu malu kepada sesama, tidak tahu
malu kepada Allah. Tentang betapa di tengah masyarakat yang sedapat mungkin
menemukan ceruk dan celah kesempatan untuk bertahan hidup dan berusaha mengais
rejeki halal dan thoyib, sementara mereka, sedang sedapat mungkin menemukan
ceruk dan celah untuk mendapatkan kesempatan menambah pundi-pundi, tak peduli
itu halal atau haram.
Naudzubillahi min dzalik.
huhuhu, ikut ngerasain sesaknya baca bagian yang jualan kue itu, mbaaaakkkk....
ReplyDeleteAh, kalo rumah kalian deket, aku mauuu banget pesen tiap minggu, buat konsumsi 30 kepala di ruanganku--> bendahara ngetik :)
Btw, selamat mulai makan, baby Gazaaaaa.. pastiiii makin buleeettt nanti bodymu ya, nak.. :D
ahaha... gitu deh mbak, nyeritainnya lebei sih yaa jadi bikin nyesek pembaca ;))
ReplyDeleteiiih mau banget bikin kue tiap minggu buat kantornya mbak Fit. biar bisa beli portuner ASAP, aamiin :D
iya nih mbaaak mamanya heboh anaknya MPASI :p
duh bundanya Gaza, so inspiring... #speechless
ReplyDelete-istrinya mas Arif Musafa :p
:D makasih tante Tiwi...
Delete