Cerita Untuk Semesta : Dan Perkenalkan, Aku, Ibumu...


Minggu, 20 Januari 2013


Aku positif! Positif hamil!

Lihat saja ini...



Apa yang ada di dalam kepalaku? Banyak. Banyak sekali. Ketakutan-ketakutan, kekhawatiran, cemas, marah, tak percaya. Kenapa harus positif??


Pelan kubuka pintu kamar mandi, dan mendapati suamiku sedang menunggu cemas. “gimana de?”

Tanpa banyak kata, kusodorkan testpack mungil itu padanya. “dua? Berarti positif, sayang?”

Hanya anggukan lemah yang bisa kuberikan padanya. Suamiku menatapku bingung, ya, sepertinya memang dia bingung, harus berkomentar apa. Akhirnya diraihnya tubuhku, dipeluknya erat. Sejenak aku tenggelam di dadanya. Sesak di dadaku perlahan menyeruak, dan gelombang panik menyerbu tanpa seizinku. Aku hamil! Lalu bagaimana dengan dua balitaku? Bagaimana aku membagi diriku untuk anak-anakku dan suamiku dan janin dalam perutku dan setumpuk pekerjaan rumahtanggaku?

“Jingga masih kecil, bang…” isakku.

"Terus, kita harus ngapain?” Tanya suamiku.

Ya, kita harus ngapain? Itu pertanyaan yang bercokol di kepalaku di hari-hari selanjutnya. Harus ngapain? Harus diapain?

Pergi ke bidan, bidannya pergi umroh. Ke tukang pijat, ada kendurian di rumahnya. Sementara gelombang mual dan pusing terus-terusan menghempaskanku, gak bisa bangun dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Menyebalkan. Makan sedikit, pengen muntah. Gak makan apalagi. Kayak orang mabok laut. Haduuuh…

Teringat lagi berbagai rencana yang sudah kususun rapi bersama suamiku. Dua bulan lagi, dia berencana resign, karena perusahaan tempatnya bekerja memang sudah kolaps. Antara gaji dan pekerjaan sudah tak sinkron lagi. Sembari menjalankan pelan-pelan roda bisnis dengan mencoba berjualan kue. Bulan depannya lagi, rencana mudik ke Semarang lagi, kali ini agak lama, gak seperti mudik kami yang terakhir. Tapi bagaimana mungkin kalau kondisiku hamil? Ah, manusia memang ahlinya dalam berencana, namun memang gak boleh lupa, Allah-lah Sang Penentu takdir. 


Rencana itu sekarang menjadi serupa gelembung keinginan yang perlahan terbang lalu "plup..." meletus pelan lalu menghilang...

“Lho, memangnya kalo ade hamil, gak bisa bikin kue ya? Memangnya kalo ade hamil, gak bisa ke Semarang ya?” Tanya suamiku di suatu sore, ketika aku membeberkan kegalauan tingkat dewaku.

“Ya bisa siih, tapi kan…”

“Tapi kan ada abang….”

Ah suamiku… tak tahukah kau bagaimana capeknya hamil sembari mengurus anak-anak kecil? Tak tahukah kau bagaimana beratnya perutku tatkala janin itu semakin membesar? Coba saja kau rasakan bagaimana morning sickness itu menyerang. Tak tahukah kamu bagaimana sakitnya melahirkan itu? Tak tahukah kamu betapa sulitnya untuk tetap menyusui bayi ketika anak-anak balitamu yang lain ikut menyita perhatianmu? Tak tahukah kamu bagaimana rasanya baby blues itu? Tak tahukah kamu betapa repotnya menggendong bayi kesana kemari? Tak tahukah kau, menjadi ibu itu berarti menjadi madrasah untuk anak-anaknya, sedangkan aku belum maksimal lagi menjalankan tugas-tugasku sebagai ibu yang baik. 


Aku tak mau mengulanginya lagi… aku tak mau merasakannya lagi… aku… capek….

:’(


“Gak ada satu kejadian kecilpun yang terjadi tanpa seizinNya… ketika kamu berusaha dengan segenap tenagamu melawannya, tak tahukah kamu betapa sombongnya kamu?” bisikan itu masuk ke kepalaku seiring dengan niatku untuk nekat membuang ini.

Ah siapa pula yang berbisik selancang itu kepadaku? Aku panik, takut, tak berhenti menyesali diri, sementara suamiku hanya bisa menatapku bingung dan cemas. Dia menginginkan anak ini, aku tahu itu. Tapi dia pun tak ingin aku menderita karenanya, dia tak ingin aku sakit karenanya.

Ah anakku, haruskah kau datang sekarang? 

Sampai akhirnya semalam, suamiku pulang mengaji dari rumah ustadz. Rupanya diam-diam dia curhat pada sang ustadz perihal kehamilan. Apa jawaban sang ustadz?

“Anugerah anak di dalam kandungan itu begitu berharga… sehingga kalau dikonversi dengan apapun di dunia ini, tetaplah dia yang jauh lebih berharga… ingatlah, begitu banyak pasangan yang menginginkan anak namun tak kesampaian…ingatlah bahwasanya pahala seorang ibu yang mengandung, melahirkan, menyusui sampai dia membesarkan dan mendidiknya itu setara dengan pahala jihad di medan perang…”

Astaghfirullah….

Kuusap perutku pelan dengan penuh perasaan berdosa. Aku banyak lalai dalam menjalankan perintahMu ya Allah. Aku banyak alpa dalam membesarkan anak-anakku. Aku banyak kekurangan dalam mengurus suami dan rumahtanggaku. aku sungguh bukan madrasah sempurna untuk anak-anakku. Bagaimana mungkin Kau tambah lagi tugas untukku ya Allah, dengan Kau hadirkan dia di dalam rahimku, dan kelak dengan izinMu kulahirkan dan kubesarkan dia? Sungguh, ini di luar kemampuanku. Bagaimana bisa aku mengemban tugas ini ya Allah?

“Ade inget, waktu hamil jingga, abang belum dapet kerja? Tapi kita selalu dicukupkan Allah, kan, sayang? Juga saat melahirkan kakak Reza dan Lubna... Abang yakin ade bisa melewatinya lagi kok” ujar suamiku pelan. “Abang gak akan membiarkan ade sendiri, sayang. Karenanya abang akan tetap pada rencana semula : resign, biar bisa jagain ade ama anak-anak… Siapa tahu, anak kita ini kelak menjadi orang besar, sayang...”

Maka tumpahlah air mataku. Nikmat mana yang aku dustakan, ya Allah? Jika memang ini jalan yang telah Kau tetapkan untukku untuk menghapus dosa-dosaku, untuk menyempurnakan nilai ibadahku, untuk mempermudah urusanku di padang mahsar kelak, maka tak ada hakku untuk menolaknya.

Maka di sinilah aku. Pelan-pelan membangun keberanian dan semangat untuk terus berjalan di jalur takdirNya. Takdir yang aku yakin telah termaktub untukku dan suamiku dan keluarga kecilku.


Maafkan mama, nak, sempat tak menginginkanmu. Namun yakinlah, rahim mama cukup kuat untuk menjadi rumahmu di 8 bulan mendatang. Ya, bertumbuhkembanglah. Bermainlah. Belajarlah. Dengarkanlah suara-suara di luar sini, suatu saat kau akan mengenalinya sebagai suara cinta kami.
halo, nak, sedang apa kau di dalam sana?

Dan perkenalkan, ini aku, ibumu…

gambar dipinjam dari sini

P.S. : Tadi pagi, ayahmu mencium perut mama mu sebelum dia berangkat kerja...:)



Comments

Popular Posts