Cerita Untuk Semesta : The Thing Called "Kutil"


Selasa, 22 Januari 2013


Belum-belum, kehamilan ini sudah ‘diganggu’ oleh keterpaksaan mama untuk minum obat, nak. Ya, antibiotic pula! Mama harap kamu mengetahui, mama benci melakukannya. 


Kenapa?




Ada kutil kecil sangat mengganggu di ujung kuku jari tengah tangan kiri mama. Ada sih fotonya, tapi penting banget apa ya, memosting foto kutil itu di blog ini?


Gara-garanya sepele ; memotong kuku gak tuntas sampe ujungnya. Akhirnya yang terjadi adalah si ujung kuku yang tertinggal tadi terus tumbuh, dan akhirnya menusuk kulit dan daging di atasnya, daan akhirnya terjadilah infeksi (katanya bu tante dokter sih begitu, nak). Awalnya Cuma setitik nanah, tapi masyaAllah, sakitnya nak kalau tersentuh sedikit saja.


Akhirnya mama biarkan si nanah tadi, dengan harapan kulit mama akan menyembuhkan diri sendiri. Dodolnya, entah darimana gagasan itu, mama mengoleskan bioplacenton di atasnya. Setelah itu baru ditutup pakai handiplast. Kenapa ditutup? Ya mengganggu kalau gak ditutup, kan mama harus masak, nyuci piring, mandiin dan nyebokin kakak-kakak perempuanmu..


Taraaa…


Semakin hari, bukannya semakin membaik, malah semakin sakit, dan semakin membengkak, akhirnya tumbuhlah dengan sukses berjaya si kutil tadi. Subhanallah, Maha Besar Allah, nak, itu kutil kecil kalau tersentuh sedikiiiiit saja, bisa bikin mama menjerit termehek-mehek. Akhirnya mama menyerah dan mengucapkan selamat tinggal pada bioplacenton, dan tak lama kemudian terjadilah percakapan di BBM dengan bu dokter Dina.
Singkatnya, kata bu dokter, ini penyakit namanya paranokia. Apa itu paranokia? Kok seperti merk permen? Nantilah mama ceritakan lebih lanjut perihal paranokia ini ya nak, jari kiri mama masih cenut-cenut. Lalu bu dokter menyarankan mama mengkonsumsi sejumlah obat, untuk mengurangi radang sekaligus mengobati infeksinya yang gak lain adalah antibiotik.


Kata beliau, karena kondisi mama yang tengah mengandungmu, mama gak boleh melanjutkan pengobatan anti radang kalau si kutil gak menyebabkan mama menjerit termehek-mehek lagi. Oke, bismillah, mama minumlah obat itu. Dan ya, rasa linu dan perih yang menjalar sampai ke lengan dan bahu kiri itu perlahan berkurang. Artinya, mama stop minum obat anti radangnya, sedangkan untuk antibiotic, mama lanjutin, karena konon kalau antibiotic gak dikonsumsi rutin dalam kurun waktu tertentu, jadinya ya seperti mama kutip di artikel ini


Minum obat antibiotika tidak seperti minum obat sakit kepala. Begitu sakit kepala hilang dan sembuh, obatnya dihentikan. Obat antibiotika memiliki dosis tertentu yang sudah diuji para ahli peneliti dan produsen obat tentang dosis yang tepat untuk membunuh antibiotika. Biasanya dokter memberikan dosis antibiotika yang sesuai dengan dosis yang dapat membunuh atau menghambat bakteri yang menginfeksi tubuh. “Apabila minum antibiotika dan obat itu tidak dihabiskan atau kurang dosisnya, kemungkinan tidak semua bakteri yang menginfeksi tubuh bisa mati, tetapi masih ada bakteri yang mampu bertahan hidup di dalam tubuh, walaupun pasien tampaknya sudah sehat. Bakteri yang mampu bertahan hidup inilah yang berpotensi kebal atau resisten terhadap antibiotika, sehingga bakteri ini akan terus mampu bertahan hidup. Bahkan, dapat menginfeksi tubuh dan tubuh tidak mempan terhadap antibiotika sebelumnya, sehingga bakteri yang kebal ini akan sulit dibunuh dan memerlukan antibiotika yang lebih canggih atau generasi terbaru yang tentu harganya sangat mahal,” 


Gitu, nak…


Sampai tulisan ini mama buat, kutil itu masih betah stay di ujung jari tengah tangan mama. Selain mengganggu, juga penampilannya gak bisa dibilang bagus. Hiks… yah sudahlah, kita tunggu besok aja. Mama dijadwalkan ketemu ama bu dokter besok pagi, nak. Terserah mereka, mau diapakan kutil ini……:(


Pesan moral untukmu : kelak, kalau potong kuku, jangan biarkan setitik pun kuku itu tertinggal di bagian ujung ya nak?



Comments

Popular Posts